B. Landasan Teori
Teori Perkembangan Karir Ginzberg
1. Pokok Teori Ginzberg
Teori Ginzberg dikembangkan pada tahun 1951 berdasarkan hasil studi melalui pengamatan dan wawancara dengan sampel yang terdiri dari laki-laki dari keluarga yang pendapatannya diatas rata-rata. Ini dilihat dari pendidikan ayah sebagai tenaga professional dan ibunya yang berpendidikan tinggi. Jadi sampelnya terbatas mencakup sub kelompok tertentu dari seluruh populasi dan memiliki latar belakang sehingga memiliki peluang untuk memilih mereka lebih luas. Teori Gizberg tidak menjelaskan pilihan karir dari keseluruhan populasi.Dalam hal ini mereka yang berasal dari kalangan yang penghasilanya rendah karena anak-anaknya telah mulai bekerja pada umur 18 tahun bahkan mungkin lebih awal karena tekanan keadaan.Yang menjadi dasar bagi Ginzberg dalam membangun teorinya adalah pendekatan psikologis atas tugas-tugas perkembangan yang dilalui oleh manusia dari masa ke masa. Konsep perkembangan dan pemilihan pekerjaan atau karier oleh Ginzberg dikelompokkan dalam empat unsur yaitu :
a. Proses (bahwa pilihan pekerjaan itu merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus-menerus).
b. Irreversibilitas (bahwa pilihan pekerjaan itu tidak bisa diubah atau dibalik. Adanya pembatasan pilihan pekerjaan itu bersifat menentukan. Jadi umur akan mempengaruhi karir seseorang dan kesediaan kesempatan bisa saja menyebabkan orang berubah dalam pilihan pekerjaannya).
c. Kompromi(bahwa pilihan pekerjaan itu merupakan kompromi antara faktor-faktor yang lain yaitu minat, kemampuan, dan nilai. Dalam unsure kompromi ini seseorang mulai mencari kesempurnaanya lagi melalui perkembangan sehingga muncullah konsep optimisme).
d. Optimisme (bahwa setiap orang mencari kecocokan paling baik antara minatnya yang terus mengalami perubahan, tuuan- tujuannya, dan keadaan yang terus berubah).
2. Proses Pemilihan Karir Ginzberg
Proses pemilihan pekerjaan oleh Ginzberg diklasifikasikan dalam tiga tahapan utama yaitu :
- Tahap kapasitas (13-14 tahun), yakni masa dimana individu mulai melakukan pekerjaan/kegiatan didasarkan pada kemampuannya masing-masing. Orientasi pilihan pekerjaan juga pada masa ini berbentuk upaya mencocokkan kemampuan yang dimiliki dengan minat dan kesukaannya.
- Tahap nilai (15-16 tahun), yaitu tahap dimana minat dan kapasitas itu akan diinterpretasikan secara sederhana oleh individu yang mulai menyadari bahwa terdapat suatu kandungan nilai-nilai tertentu dari suatu jenis pekerjaan, baik kandungan nilai yang bersifat pribadi maupun serangkaian nilai yang bersifat kamasyarakatan. Kesadaran akan serangkaian kandungan nilai ini pula yang membuat individu dapat mendiferensiasikan nilai suatu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya.
- Tahap transisi (17-18 tahun), yakni keadaan dimana individu akan memadukan orientasi-orientasi pilihan yang dimiliki sebelumnya (minat, kapasitas, dan nilai) untuk dapat direalisasikan dalam kehidupannya. Tahap ini dikenal juga dengan tahap pengenalan secara gradual terhadap persyaratan kerja, pengenalan minat, kemampuan, imbalan kerja, nilai, dan perspektif waktu.Keputusan yang menjadi pilihan itu sudah merupakan bentuk tanggung jawab dan konsekuensi pola karier yang dipilih.
- Tahap kristalisasi, yakni tahap dimana penilaian yang dilakukan individu terhadap pengalaman atau kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan baik yang berhasil ataupun yang gagal akan mengental dalam bentuk pola-pola vokasional yang jelas. Pada tahap ini, individu akan mengambil keputusan pokok dengan mengawinkan faktor-faktor internal dan eksternal dirinya untuk sampai pada spesifikasi pekerjaan tertentu, termasuk tekanan keadaan yang ikut memaksa pengambilan keputusan itu.
- Tahap spesifikasi, yaitu tahap pilihan pekerjaan yang spesifik atau khusus. Pada tahap ini, semua segmen dalam orientasi karier yang dimulai dari orientasi minat, kapasitas, dan nilai, sampai tahap eksplorasi dan kristalisasi telah dijadikan pertimbangan (kompromi) yang matang (determinasi tugas-tugas perkembangan yang optimal) dalam memilih arah dan tujuan karier dimasa yang akan datang.
Dari berbagai tahapan yang diklasifikasikan Ginzberg di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pemilihan pekerjaan yang terjadi pada individu merupakan suatu pola pilihan karier yang bertahap dan runtut, yang dinilai subjektif oleh individu dalam milieu sosiokulturalnya sejak masa kanak-kanak hingga awal masa dewasanya. Artinya, pada saat keputusan vokasional tentatif dibuat, pilihan-pilihan yang lain akan dicoret. Sehingga individu yang berhasil dalam karier/pekerjaan (memiliki kepuasan kerja) adalah individu yang mampu mengidentifikasi, mengarah, dan mengakomodir semua orientasi minat, kapasitas, dan nilai kedalam proses kompilasi yang tepat dan dinamis.
Di beberapa bagiannya, teori ini masih dianggap kurang sempurna, mengingat sampel yang dipilih Ginzberg dalam membangun teorinya ini kurang representatif, yakni hanya diwakili oleh sampel laki-laki dari keluarga yang berpenghasilan diatas rerata (ayahnya adalah tenaga profesional dan ibunya berpendidikan tinggi). Sehingga peluang sampel dalam memilih pilihan karier cenderung lebih luas, dan cenderung tidak mengalami hambatan dalam proses okupasionalnya. Sementara kemungkinan adanya kalangan sampel yang berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah dan mengalami tekanan keadaan tertentu, termasuk juga sampel perempuan yang hampir tidak ada dalam studinya dalam kerangka teori ini kurang mendapat perhatian.
Konsep irreversibilitas (pilihan pekerjaan itu tidak bisa diubah atau dibalik) juga mengalami modivikasi dengan tetap menekankan pada pentingnya pilihan itu dilakukan secara dini dalam membantu proses pembuatan karier. Untuk hal ini, Ginzberg menyatakan bahwa irreversibilitas itu tidak bersifat menentukan keberhasilan kerier, dan menekankan konsep optimisasi (pencarian kecocokan) sebagai bagian okupasional dalam mencapai kepuasan kerja. Karena bagi kelompok Ginzberg, reversibilitas disebut sebagai penyimpangan, yang disebabkan oleh keterampilan okupasional dini dan timing perkembangan realistik secara signifikan lebih lambat datangnya, akibat variabel-variabel tertentu seperti instabilitas emosi, masalah pribadi, dan kekayaan finansial.
Sehingga diakhir pendapatnya, Ginzberg juga menyimpulkan bahwa pengambilan keputusan dalam pilihan karier itu berlangsung sepanjang hayat, sebagai refleksi dari perubahan minat dan tujuan-tujuan, serta keadaan atau tekanan yang berlangsung dalam kehidupan seseorang. Konsep ini juga saya anggap sebagai reaksi edukatif Ginzberg atas kelemaham awal tentang batasan umur masa realistis dari teori yang dibangunnya.
Sehingga diakhir pendapatnya, Ginzberg (Munandir, 1996:2) menyatakan bahwa “pemilihan pekerjaan merupakan proses pengambilan keputusan yang berlangsung seumur hidup bagi mereka yang mencari kepuasan dari pekerjaannya.Keadaan ini mengharuskan mereka berulang-ulang melakukan penilaian kembali, dengan maksud mereka dapat lebih mencocokkan tujuan-tujuan karier yang terus berubah-ubah dengan kenyataan dunia kerja”.
Konseptualisasi teori ini agaknya lebih bersifat deskriptif daripada eksplanatori. Artinya teori ini tidak memberikan strategi untuk memfasilitasi perkembangan karier ataupun penjelasan tentang proses perkembangannya. Kegunaan utama teori ini tampaknya hanya dalam memberikan satu kerangka baru untuk melakukan studi mengenai perkembangan karier.
Teori Konseling Trait & Factor
Toko utama teori sifat dan faktor adalah Walter Bingham, Jhon Darley, Donald G. Paterson, dan E. G. Williamson. Teori sifat dan faktor sering pula disebut sebagai konseling direktif atau konseling yang berpusat pada konselor.
Konsep Utama
Kepribadian merupakan suatu sistem sifat atau faktor yang saling berkaitan satu dengan lainya seperti kecakapan, minat, sikap, dan temperamen. Hal yang mendasar bagi konseling sifat dan faktor adalah asumsi bahwa individu berusaha untuk menggunakan pemahaman diri dan pengetahuan kecakapan dirinya sebagai dasar bagi pengembangan potensinya. Maksud konseling menurut Williamson adalah untuk membantu perkembangan kesempurnaan berbagai aspek kehidupan manusia, serta tugas konseling sifat dan faktor adalah membantu individu dalalm memeperoleh kemajuan memahami dan mengelola diri dengan cara membantunya menilai kekuatan dan kelemahan diri dalam kegiatan dengan perubahan kemajuan tujuan-tujuan hidup dan karir (Shertzer & Stone, 1980, 171).
Proses Konseling
Peranan konselor menurut teori ini adalah memberitahukan konseli tentang berbagai kemampuanya yang diperoleh konselor melalui testing. Berdasarkan testing pula konselor mengetahui kelemahan dan kekuatan kepribadian konseli. Pendekatan teori ini seri deisebut kognitif rasional karena peranan konselor dalam konseling ialah memberitahukan, memberi informasi, dan mengarahkan konseli. Williamson “ hubungan konseling merupakan hubungan yang sangat akrab, sangat bersifat pribadi dalam hubungan tatap muka, kemudian konselor bukan hanya membantu individu atas apa saja yang sesuai dengan potensinya, tetapi konselor harus mempengaruhi klien berkembang ke satu arah yang terbaik baginya”.
Proses konseling dibagi 5 tahap :
Kategori diagnostik Bordin
• Dependence atau ketergantungan
• Lack of information atau kurangnya informasi
• Self-conflict
• Choice-anxiety atau kecemasan dalam memnuat pilihan
Kategori Pepinsky
• Lack of assurance atau kurangnya dukungan
• Lack of information atau kurangnya informasi
• Lack of Skill atau kurangnya keterampilan
• Dependence atau ketergantungan
• Self-conflict
Menentuka sebab-sebab, yang mencakup perhatian hubungan antara masaü lalu, masa kini, dan masa depan yang dpat menerangkan sebab-sebab gejala.
Prognosis, misal diagnosisnya kurang cerdas, prognosisnua menjadiü kurang cerdas untuk pengerjaan sekolah yang sulit, sehingga mungkin sekali gagal kalu ingin belajar menjadi dokter. dengan demikian konselor bertanggung jawab dan membantu klien untuk mencapai tingkat pengambilan tanggung jawab untuk dirinya sendiri, yang berarti ia mampu dan mengerti secara logis, tetapi secara emosional belum mau menerima.
4. Konseling, merupakan hubungan membantu konseli untuk menemukan sumber diri sendiri maupun sumber diluar dirinya dalam upaya mencapai perkembangan dan penyesuaian optimal, sesuai dengan kemampuanya. Ada 5 jenis sifat konseling:
Teknik konseling
“ Teknik konseling harus disesuaikan dengan individualitas klien, dan kita tidak dapat menghindari kenyataan bahwa setiap masalah menuntut fleksibelitas dan keragaman konseling” ( Williamson, dalam Petterson, 1996, hal 36).
Teknik-teknik yang sering digunakan dalam proses konseling :
Teori Perkembangan Karir Ginzberg
1. Pokok Teori Ginzberg
Teori Ginzberg dikembangkan pada tahun 1951 berdasarkan hasil studi melalui pengamatan dan wawancara dengan sampel yang terdiri dari laki-laki dari keluarga yang pendapatannya diatas rata-rata. Ini dilihat dari pendidikan ayah sebagai tenaga professional dan ibunya yang berpendidikan tinggi. Jadi sampelnya terbatas mencakup sub kelompok tertentu dari seluruh populasi dan memiliki latar belakang sehingga memiliki peluang untuk memilih mereka lebih luas. Teori Gizberg tidak menjelaskan pilihan karir dari keseluruhan populasi.Dalam hal ini mereka yang berasal dari kalangan yang penghasilanya rendah karena anak-anaknya telah mulai bekerja pada umur 18 tahun bahkan mungkin lebih awal karena tekanan keadaan.Yang menjadi dasar bagi Ginzberg dalam membangun teorinya adalah pendekatan psikologis atas tugas-tugas perkembangan yang dilalui oleh manusia dari masa ke masa. Konsep perkembangan dan pemilihan pekerjaan atau karier oleh Ginzberg dikelompokkan dalam empat unsur yaitu :
a. Proses (bahwa pilihan pekerjaan itu merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus-menerus).
b. Irreversibilitas (bahwa pilihan pekerjaan itu tidak bisa diubah atau dibalik. Adanya pembatasan pilihan pekerjaan itu bersifat menentukan. Jadi umur akan mempengaruhi karir seseorang dan kesediaan kesempatan bisa saja menyebabkan orang berubah dalam pilihan pekerjaannya).
c. Kompromi(bahwa pilihan pekerjaan itu merupakan kompromi antara faktor-faktor yang lain yaitu minat, kemampuan, dan nilai. Dalam unsure kompromi ini seseorang mulai mencari kesempurnaanya lagi melalui perkembangan sehingga muncullah konsep optimisme).
d. Optimisme (bahwa setiap orang mencari kecocokan paling baik antara minatnya yang terus mengalami perubahan, tuuan- tujuannya, dan keadaan yang terus berubah).
2. Proses Pemilihan Karir Ginzberg
Proses pemilihan pekerjaan oleh Ginzberg diklasifikasikan dalam tiga tahapan utama yaitu :
- Masa Fantasi masa ini berlangsung pada individu dengan tahap usia sampai kira-kira 10 tahun atau 12 tahun (masa sekolah dasar). Pada masa ini, proses pemilihan pekerjaan masih bersifat sembarangan atau asal pilih, tanpa didasarkan pada pertimbangan yang masak (rasional dan objektif) mengenai kenyataan yang ada. Pilihan pekerjaan pada masa ini hanya didasari atas kesan yang dapat melahirkan kesenangan semata, dan diperolehnya dari/mengenai orang-orang yang bekerja atau lingkungan kerjanya.
- Masa Tentatif Masa ini berlangsung mencakup anak usia lebih kurang 11 tahun sampai 18 tahun atau pada masa anak bersekolah di SLTP dan SLTA. Pada masa ini, pilihan pekerjaan mengalami perkembangan. Masa ini oleh Ginzberg diklasifikasikan manjadi empat tahap, dimulai dari
- Tahap kapasitas (13-14 tahun), yakni masa dimana individu mulai melakukan pekerjaan/kegiatan didasarkan pada kemampuannya masing-masing. Orientasi pilihan pekerjaan juga pada masa ini berbentuk upaya mencocokkan kemampuan yang dimiliki dengan minat dan kesukaannya.
- Tahap nilai (15-16 tahun), yaitu tahap dimana minat dan kapasitas itu akan diinterpretasikan secara sederhana oleh individu yang mulai menyadari bahwa terdapat suatu kandungan nilai-nilai tertentu dari suatu jenis pekerjaan, baik kandungan nilai yang bersifat pribadi maupun serangkaian nilai yang bersifat kamasyarakatan. Kesadaran akan serangkaian kandungan nilai ini pula yang membuat individu dapat mendiferensiasikan nilai suatu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya.
- Tahap transisi (17-18 tahun), yakni keadaan dimana individu akan memadukan orientasi-orientasi pilihan yang dimiliki sebelumnya (minat, kapasitas, dan nilai) untuk dapat direalisasikan dalam kehidupannya. Tahap ini dikenal juga dengan tahap pengenalan secara gradual terhadap persyaratan kerja, pengenalan minat, kemampuan, imbalan kerja, nilai, dan perspektif waktu.Keputusan yang menjadi pilihan itu sudah merupakan bentuk tanggung jawab dan konsekuensi pola karier yang dipilih.
- Masa Realistik Masa ini mencakup anak usia 18-24 tahun atau pada masa perkuliahan atau mulai bekerja. Pada masa ini, okupasi terhadap pekerjaan telah mengalami perkembangan yang lebih realistis. Orientasi minat, kapasitas, dan nilai yang dimiliki individu terhadap pekerjaan akan direfleksikan dan diintegrasikan secara runtut dan terstruktur dalam frame vokasional (kristalisasi pola-pola okupasi) untuk memilih jenis pekerjaan dan atau memilih perguruan tinggi yang sesuai dengan arah tentatif mereka (spesifikasi). Masa ini pun dibedakan menjadi tiga tahap yaitu :
- Tahap kristalisasi, yakni tahap dimana penilaian yang dilakukan individu terhadap pengalaman atau kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan baik yang berhasil ataupun yang gagal akan mengental dalam bentuk pola-pola vokasional yang jelas. Pada tahap ini, individu akan mengambil keputusan pokok dengan mengawinkan faktor-faktor internal dan eksternal dirinya untuk sampai pada spesifikasi pekerjaan tertentu, termasuk tekanan keadaan yang ikut memaksa pengambilan keputusan itu.
- Tahap spesifikasi, yaitu tahap pilihan pekerjaan yang spesifik atau khusus. Pada tahap ini, semua segmen dalam orientasi karier yang dimulai dari orientasi minat, kapasitas, dan nilai, sampai tahap eksplorasi dan kristalisasi telah dijadikan pertimbangan (kompromi) yang matang (determinasi tugas-tugas perkembangan yang optimal) dalam memilih arah dan tujuan karier dimasa yang akan datang.
Dari berbagai tahapan yang diklasifikasikan Ginzberg di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pemilihan pekerjaan yang terjadi pada individu merupakan suatu pola pilihan karier yang bertahap dan runtut, yang dinilai subjektif oleh individu dalam milieu sosiokulturalnya sejak masa kanak-kanak hingga awal masa dewasanya. Artinya, pada saat keputusan vokasional tentatif dibuat, pilihan-pilihan yang lain akan dicoret. Sehingga individu yang berhasil dalam karier/pekerjaan (memiliki kepuasan kerja) adalah individu yang mampu mengidentifikasi, mengarah, dan mengakomodir semua orientasi minat, kapasitas, dan nilai kedalam proses kompilasi yang tepat dan dinamis.
Di beberapa bagiannya, teori ini masih dianggap kurang sempurna, mengingat sampel yang dipilih Ginzberg dalam membangun teorinya ini kurang representatif, yakni hanya diwakili oleh sampel laki-laki dari keluarga yang berpenghasilan diatas rerata (ayahnya adalah tenaga profesional dan ibunya berpendidikan tinggi). Sehingga peluang sampel dalam memilih pilihan karier cenderung lebih luas, dan cenderung tidak mengalami hambatan dalam proses okupasionalnya. Sementara kemungkinan adanya kalangan sampel yang berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah dan mengalami tekanan keadaan tertentu, termasuk juga sampel perempuan yang hampir tidak ada dalam studinya dalam kerangka teori ini kurang mendapat perhatian.
Konsep irreversibilitas (pilihan pekerjaan itu tidak bisa diubah atau dibalik) juga mengalami modivikasi dengan tetap menekankan pada pentingnya pilihan itu dilakukan secara dini dalam membantu proses pembuatan karier. Untuk hal ini, Ginzberg menyatakan bahwa irreversibilitas itu tidak bersifat menentukan keberhasilan kerier, dan menekankan konsep optimisasi (pencarian kecocokan) sebagai bagian okupasional dalam mencapai kepuasan kerja. Karena bagi kelompok Ginzberg, reversibilitas disebut sebagai penyimpangan, yang disebabkan oleh keterampilan okupasional dini dan timing perkembangan realistik secara signifikan lebih lambat datangnya, akibat variabel-variabel tertentu seperti instabilitas emosi, masalah pribadi, dan kekayaan finansial.
Sehingga diakhir pendapatnya, Ginzberg juga menyimpulkan bahwa pengambilan keputusan dalam pilihan karier itu berlangsung sepanjang hayat, sebagai refleksi dari perubahan minat dan tujuan-tujuan, serta keadaan atau tekanan yang berlangsung dalam kehidupan seseorang. Konsep ini juga saya anggap sebagai reaksi edukatif Ginzberg atas kelemaham awal tentang batasan umur masa realistis dari teori yang dibangunnya.
Sehingga diakhir pendapatnya, Ginzberg (Munandir, 1996:2) menyatakan bahwa “pemilihan pekerjaan merupakan proses pengambilan keputusan yang berlangsung seumur hidup bagi mereka yang mencari kepuasan dari pekerjaannya.Keadaan ini mengharuskan mereka berulang-ulang melakukan penilaian kembali, dengan maksud mereka dapat lebih mencocokkan tujuan-tujuan karier yang terus berubah-ubah dengan kenyataan dunia kerja”.
Konseptualisasi teori ini agaknya lebih bersifat deskriptif daripada eksplanatori. Artinya teori ini tidak memberikan strategi untuk memfasilitasi perkembangan karier ataupun penjelasan tentang proses perkembangannya. Kegunaan utama teori ini tampaknya hanya dalam memberikan satu kerangka baru untuk melakukan studi mengenai perkembangan karier.
Teori Konseling Trait & Factor
Toko utama teori sifat dan faktor adalah Walter Bingham, Jhon Darley, Donald G. Paterson, dan E. G. Williamson. Teori sifat dan faktor sering pula disebut sebagai konseling direktif atau konseling yang berpusat pada konselor.
Konsep Utama
Kepribadian merupakan suatu sistem sifat atau faktor yang saling berkaitan satu dengan lainya seperti kecakapan, minat, sikap, dan temperamen. Hal yang mendasar bagi konseling sifat dan faktor adalah asumsi bahwa individu berusaha untuk menggunakan pemahaman diri dan pengetahuan kecakapan dirinya sebagai dasar bagi pengembangan potensinya. Maksud konseling menurut Williamson adalah untuk membantu perkembangan kesempurnaan berbagai aspek kehidupan manusia, serta tugas konseling sifat dan faktor adalah membantu individu dalalm memeperoleh kemajuan memahami dan mengelola diri dengan cara membantunya menilai kekuatan dan kelemahan diri dalam kegiatan dengan perubahan kemajuan tujuan-tujuan hidup dan karir (Shertzer & Stone, 1980, 171).
Proses Konseling
Peranan konselor menurut teori ini adalah memberitahukan konseli tentang berbagai kemampuanya yang diperoleh konselor melalui testing. Berdasarkan testing pula konselor mengetahui kelemahan dan kekuatan kepribadian konseli. Pendekatan teori ini seri deisebut kognitif rasional karena peranan konselor dalam konseling ialah memberitahukan, memberi informasi, dan mengarahkan konseli. Williamson “ hubungan konseling merupakan hubungan yang sangat akrab, sangat bersifat pribadi dalam hubungan tatap muka, kemudian konselor bukan hanya membantu individu atas apa saja yang sesuai dengan potensinya, tetapi konselor harus mempengaruhi klien berkembang ke satu arah yang terbaik baginya”.
Proses konseling dibagi 5 tahap :
- Analisis, merupakan tahapan kegiatan yang terdiri dari pengumpulan data dan informasi klien atau konseli.
- Sintetis, merupakan langkah untuk merangkum dan mengatur data dari hasil analisis yang sedemikian rupa sehingga menunjukan bakat klien, kelemahan serta kekuatanya, dan kemampuan penyesuaian diri.
- Diagnosis, sebenarnya merupakan langkah pertama dalam bimbingan dan hendaknya dapat menemukan ketetapan dan pola yang dapat mengarahkan kepada permasalahan, sebab-sebabnya, serta sifat-sifat klien yang relevan dan berpengaruh kepada proses penyesuaian diri. Diagnosis terdiri dari 3 langkah penting:
Kategori diagnostik Bordin
• Dependence atau ketergantungan
• Lack of information atau kurangnya informasi
• Self-conflict
• Choice-anxiety atau kecemasan dalam memnuat pilihan
Kategori Pepinsky
• Lack of assurance atau kurangnya dukungan
• Lack of information atau kurangnya informasi
• Lack of Skill atau kurangnya keterampilan
• Dependence atau ketergantungan
• Self-conflict
Menentuka sebab-sebab, yang mencakup perhatian hubungan antara masaü lalu, masa kini, dan masa depan yang dpat menerangkan sebab-sebab gejala.
Prognosis, misal diagnosisnya kurang cerdas, prognosisnua menjadiü kurang cerdas untuk pengerjaan sekolah yang sulit, sehingga mungkin sekali gagal kalu ingin belajar menjadi dokter. dengan demikian konselor bertanggung jawab dan membantu klien untuk mencapai tingkat pengambilan tanggung jawab untuk dirinya sendiri, yang berarti ia mampu dan mengerti secara logis, tetapi secara emosional belum mau menerima.
4. Konseling, merupakan hubungan membantu konseli untuk menemukan sumber diri sendiri maupun sumber diluar dirinya dalam upaya mencapai perkembangan dan penyesuaian optimal, sesuai dengan kemampuanya. Ada 5 jenis sifat konseling:
- Belajar terpimpin menuju pengertian diri
- Mendidik kembali atau mengajar sesuai dengan kebutuhan individu
- Bantuan pribadi konselor supaya konseli mengerti dan terampil dalam menerapkan prinsip dan teknik yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari
- Mencakup hubungan dan teknik yang bersifat menyembuhkan dan efektif
- Mendidik kembali yang sifatnya sebagai katarsis atau penyalur
Teknik konseling
“ Teknik konseling harus disesuaikan dengan individualitas klien, dan kita tidak dapat menghindari kenyataan bahwa setiap masalah menuntut fleksibelitas dan keragaman konseling” ( Williamson, dalam Petterson, 1996, hal 36).
Teknik-teknik yang sering digunakan dalam proses konseling :
- Penggunaan hubungan intim (rapport). Konselor menerima konseli dalamü hubungan yang hangat, intim, bersifat pribadi, penuh pemahaman dan terhindar dari hal-hal yang mengancam klien.
- Memperbaiki pemahaman diri. Koseli harus memahami kekuatan danü kelemahan dirinya, dan dibantu untuk menggunakan kekuatanya dalam upaya mengatsi kelemahanya
- Pemberian nasihat dan perencanaan program kegiatan. Konselor mulaiü bertolak dari pilihan, tujuan, pandangan atau sikap konselor dan kemudian menunjukan data yang mendukung atau tidak mendukung dari hasil diagnosis. Tiga metode pemberian nasehat yang adapat digunakan konselor
- Nasihat langsung ( direct advising), dimana konselor secara terbuka dan jelas menyatakan pendapatnya.
- Metode persuasif, dengan menunjukan pilihan yang pasti secara jelas.
- Metode penjelasan, yang merupakan metode yang paling dikehendaki dan memuaskan.
- Melaksanakan renacana, konselor memberikan bantuan dalam menetapkan pilihan atau keputusan serta implementasinya.
- Menunjukan kepada petugas lain atau referal, jika konselor merasa tidak mampu menangani masalah konseli, maka ia harus merujuk konseli kepada pihak lain yang dopandang lebih kompeten untuk membantu konseli.