A. Latar Belakang Penjurusan SMA/Ma
Pemilihan jurusan bagi siswa SMA/Ma sederajat merupakan awal dari pemilihan karir ke depannya. Hal ini dikarenakan jurusan di SMA/Ma sederajat akan mengantarkan kita pada penjurusan studi lanjut sebelum akhirnya kita menentukan, memilih pekerjaan atau karir ke depannya.
Penjurusan diperkenalkan sebagai upaya untuk lebih mengarahkan siswa berdasarkan minat dan kemampuan akademiknya. Siswa-siswa yang mempunyai kemampuan sains dan ilmu eksakta yang baik, biasanya akan memilih jurusan IPA, dan yang memiliki minat pada sosial dan ekonomi akan memilih jurusan IPS, lalu yang gemar berbahasa akan memilih Bahasa.
Pengarahan sejak dini ini dimaksudkan untuk memudahkan siswa memilih major/bidang ilmu yang akan ditekuninya di Universitas atau akademi yang tentunya akan mengarah pula kepada karirnya kelak. Tetapi penjurusan di tingkat SMA tidak selalu menjamin bahwa seorang siswa akan memilih bidang studi yang sama di Universitas, karena pada kenyataannya banyak siswa program IPA yang memilih jurusan Ekonomi, Politik, Hubungan Internasional, atau siswa jurusan IPS yang memilih program Bahasa.
Pemilihan jurusan yang berbeda dengan bidang ilmu yang ditekuni di SMA tersebut adalah wajar sebab anak seusia SMA memang belum bisa memastikan karirnya. Jangankan anak SMA, mahasiswa PT pun masih mengalami kebimbangan menentukan karirnya setelah lulus.
Penjurusan yang ada di SMA saat ini adalah penjurusan yang mengarah kepada satu tujuan yaitu melanjutkan ke PT. Penjurusan seperti ini memiliki keterbatasan dalam mengantisipasi kondisi siswa-siswa yang karena alasan tertentu tidak dapat melanjutkan ke PT, dan memilih (terpaksa memilih) untuk langsung bekerja. Dengan kemampuan yang dipersiapkan untuk melanjutkan ke PT, maka wajar jika banyak siswa SMA juga mengalami kesulitan ketika bekerja di masyarakat. Bahkan pekerjaan yang dilakukan barangkali serabutan,dengan prinsip yang penting bekerja.
Rendahnya angka melanjutkan ke PT dapat disebabkan oleh banyak hal, di antaranya : masalah ekonomi, ketidakmampuan akademik, gagal dalam UN, gagal dalam ujian masuk PT, dll. Melihat kenyataan rendahnya angka partisipasi tersebut, maka pendidikan di level SMA (pendidikan menengah umum) sebaiknya diarahkan untuk mempersiapkan siswa agar lebih memiliki kemampuan untuk bekerja atau membuka usaha mandiri. Tentu saja, selain pemikiran ini, dapat juga dikembangkan argumen untuk mempermudah proses ujian masuk PT atau menekan biaya kuliah/masuk PT.
B. Landasan Teori
Teori Perkembangan Karir Ginzberg
1. Pokok Teori Ginzberg
Teori Ginzberg dikembangkan pada tahun 1951 berdasarkan hasil studi melalui pengamatan dan wawancara dengan sampel yang terdiri dari laki-laki dari keluarga yang pendapatannya diatas rata-rata. Ini dilihat dari pendidikan ayah sebagai tenaga professional dan ibunya yang berpendidikan tinggi. Jadi sampelnya terbatas mencakup sub kelompok tertentu dari seluruh populasi dan memiliki latar belakang sehingga memiliki peluang untuk memilih mereka lebih luas. Teori Gizberg tidak menjelaskan pilihan karir dari keseluruhan populasi.Dalam hal ini mereka yang berasal dari kalangan yang penghasilanya rendah karena anak-anaknya telah mulai bekerja pada umur 18 tahun bahkan mungkin lebih awal karena tekanan keadaan.Yang menjadi dasar bagi Ginzberg dalam membangun teorinya adalah pendekatan psikologis atas tugas-tugas perkembangan yang dilalui oleh manusia dari masa ke masa. Konsep perkembangan dan pemilihan pekerjaan atau karier oleh Ginzberg dikelompokkan dalam empat unsur yaitu :
a. Proses (bahwa pilihan pekerjaan itu merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus-menerus).
b. Irreversibilitas (bahwa pilihan pekerjaan itu tidak bisa diubah atau dibalik. Adanya pembatasan pilihan pekerjaan itu bersifat menentukan. Jadi umur akan mempengaruhi karir seseorang dan kesediaan kesempatan bisa saja menyebabkan orang berubah dalam pilihan pekerjaannya).
c. Kompromi(bahwa pilihan pekerjaan itu merupakan kompromi antara faktor-faktor yang lain yaitu minat, kemampuan, dan nilai. Dalam unsure kompromi ini seseorang mulai mencari kesempurnaanya lagi melalui perkembangan sehingga muncullah konsep optimisme).
d. Optimisme (bahwa setiap orang mencari kecocokan paling baik antara minatnya yang terus mengalami perubahan, tuuan- tujuannya, dan keadaan yang terus berubah).
2. Proses Pemilihan Karir Ginzberg
Proses pemilihan pekerjaan oleh Ginzberg diklasifikasikan dalam tiga tahapan utama yaitu :
- Tahap kapasitas (13-14 tahun), yakni masa dimana individu mulai melakukan pekerjaan/kegiatan didasarkan pada kemampuannya masing-masing. Orientasi pilihan pekerjaan juga pada masa ini berbentuk upaya mencocokkan kemampuan yang dimiliki dengan minat dan kesukaannya.
- Tahap nilai (15-16 tahun), yaitu tahap dimana minat dan kapasitas itu akan diinterpretasikan secara sederhana oleh individu yang mulai menyadari bahwa terdapat suatu kandungan nilai-nilai tertentu dari suatu jenis pekerjaan, baik kandungan nilai yang bersifat pribadi maupun serangkaian nilai yang bersifat kamasyarakatan. Kesadaran akan serangkaian kandungan nilai ini pula yang membuat individu dapat mendiferensiasikan nilai suatu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya.
- Tahap transisi (17-18 tahun), yakni keadaan dimana individu akan memadukan orientasi-orientasi pilihan yang dimiliki sebelumnya (minat, kapasitas, dan nilai) untuk dapat direalisasikan dalam kehidupannya. Tahap ini dikenal juga dengan tahap pengenalan secara gradual terhadap persyaratan kerja, pengenalan minat, kemampuan, imbalan kerja, nilai, dan perspektif waktu.Keputusan yang menjadi pilihan itu sudah merupakan bentuk tanggung jawab dan konsekuensi pola karier yang dipilih.
- Tahap kristalisasi, yakni tahap dimana penilaian yang dilakukan individu terhadap pengalaman atau kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan baik yang berhasil ataupun yang gagal akan mengental dalam bentuk pola-pola vokasional yang jelas. Pada tahap ini, individu akan mengambil keputusan pokok dengan mengawinkan faktor-faktor internal dan eksternal dirinya untuk sampai pada spesifikasi pekerjaan tertentu, termasuk tekanan keadaan yang ikut memaksa pengambilan keputusan itu.
- Tahap spesifikasi, yaitu tahap pilihan pekerjaan yang spesifik atau khusus. Pada tahap ini, semua segmen dalam orientasi karier yang dimulai dari orientasi minat, kapasitas, dan nilai, sampai tahap eksplorasi dan kristalisasi telah dijadikan pertimbangan (kompromi) yang matang (determinasi tugas-tugas perkembangan yang optimal) dalam memilih arah dan tujuan karier dimasa yang akan datang.
Dari berbagai tahapan yang diklasifikasikan Ginzberg di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pemilihan pekerjaan yang terjadi pada individu merupakan suatu pola pilihan karier yang bertahap dan runtut, yang dinilai subjektif oleh individu dalam milieu sosiokulturalnya sejak masa kanak-kanak hingga awal masa dewasanya. Artinya, pada saat keputusan vokasional tentatif dibuat, pilihan-pilihan yang lain akan dicoret. Sehingga individu yang berhasil dalam karier/pekerjaan (memiliki kepuasan kerja) adalah individu yang mampu mengidentifikasi, mengarah, dan mengakomodir semua orientasi minat, kapasitas, dan nilai kedalam proses kompilasi yang tepat dan dinamis.
Di beberapa bagiannya, teori ini masih dianggap kurang sempurna, mengingat sampel yang dipilih Ginzberg dalam membangun teorinya ini kurang representatif, yakni hanya diwakili oleh sampel laki-laki dari keluarga yang berpenghasilan diatas rerata (ayahnya adalah tenaga profesional dan ibunya berpendidikan tinggi). Sehingga peluang sampel dalam memilih pilihan karier cenderung lebih luas, dan cenderung tidak mengalami hambatan dalam proses okupasionalnya. Sementara kemungkinan adanya kalangan sampel yang berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah dan mengalami tekanan keadaan tertentu, termasuk juga sampel perempuan yang hampir tidak ada dalam studinya dalam kerangka teori ini kurang mendapat perhatian.
Konsep irreversibilitas (pilihan pekerjaan itu tidak bisa diubah atau dibalik) juga mengalami modivikasi dengan tetap menekankan pada pentingnya pilihan itu dilakukan secara dini dalam membantu proses pembuatan karier. Untuk hal ini, Ginzberg menyatakan bahwa irreversibilitas itu tidak bersifat menentukan keberhasilan kerier, dan menekankan konsep optimisasi (pencarian kecocokan) sebagai bagian okupasional dalam mencapai kepuasan kerja. Karena bagi kelompok Ginzberg, reversibilitas disebut sebagai penyimpangan, yang disebabkan oleh keterampilan okupasional dini dan timing perkembangan realistik secara signifikan lebih lambat datangnya, akibat variabel-variabel tertentu seperti instabilitas emosi, masalah pribadi, dan kekayaan finansial.
Sehingga diakhir pendapatnya, Ginzberg juga menyimpulkan bahwa pengambilan keputusan dalam pilihan karier itu berlangsung sepanjang hayat, sebagai refleksi dari perubahan minat dan tujuan-tujuan, serta keadaan atau tekanan yang berlangsung dalam kehidupan seseorang. Konsep ini juga saya anggap sebagai reaksi edukatif Ginzberg atas kelemaham awal tentang batasan umur masa realistis dari teori yang dibangunnya.
Sehingga diakhir pendapatnya, Ginzberg (Munandir, 1996:2) menyatakan bahwa “pemilihan pekerjaan merupakan proses pengambilan keputusan yang berlangsung seumur hidup bagi mereka yang mencari kepuasan dari pekerjaannya.Keadaan ini mengharuskan mereka berulang-ulang melakukan penilaian kembali, dengan maksud mereka dapat lebih mencocokkan tujuan-tujuan karier yang terus berubah-ubah dengan kenyataan dunia kerja”.
Konseptualisasi teori ini agaknya lebih bersifat deskriptif daripada eksplanatori. Artinya teori ini tidak memberikan strategi untuk memfasilitasi perkembangan karier ataupun penjelasan tentang proses perkembangannya. Kegunaan utama teori ini tampaknya hanya dalam memberikan satu kerangka baru untuk melakukan studi mengenai perkembangan karier.
Permasalahan yang Dihadapi dalam Memilih Jurusan
Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kian berkembang pesat. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut membuat manusia harus mampu bersaing dalam peningkatan kualitas hidupnya di segala aspek dan bidangnya. Salah satu persaingan manusia demi peningkatan kualitas hidupnya adalah persaingan dalam dunia karirnya. Manusia harus mampu menentukan karirnya sendiri untuk kehidupan kedepannya, maka dari itu manusia diharapkan mampu merancang karirnya sejak dini. Dengan adanya perancanagan karir sejak dini, nantinya diharapkan akan memudahkan manusia itu sendiri dalam meniti dan mewujudkan setiap karirnya ke depan.
Pentingnya perencanaan karir sejak dini menuntut sekolah-sekolah menengah atas dan sederajat di Indonesia harus turut serta menekankan pembinaan karir dalam kurikulum tingkat satuan pendidikannya. Mengingat pentingnya pembinaan karir sejak dini tersebut maka sekolah pun mengadakan program bimbingan karir sejak dini di sekolah. Hal ini terbukti dari adanya Program Pemilihan Jurusan di kalangan SMK/SMA/Ma sederajat. Jurusan yang ditawarkan yaitu Program Studi Ilmu Alam (PSIA), Program Studi Ilmu Sosial (PSIS), Program Studi Ilmu Bahasa (PSIB). Dengan adanya Program Pemilihan Jurusan ini maka para siswa diharapkan mampu menentukan dan merencanakan pilihan studi lanjut dan/atau karirnya lebih awal.
Namun seiring berjalannya waktu, sekarang ini sering dijumpai kasus terkait tentang permasalahan dan kendala-kendala yang dialami siswa dalam menentukan jurusan yang tepat bagi diinya sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Beberapa permasalahan yang hingga sekarang ini sering ditemui itu diantaranya yaitu:
1. Siswa bingung dan belum tahu harus memilih jurusan apa yang tepat bagi dirinya. Hal ini dikarenakan siswa belum memiliki kebulatan tekad dalam menentukan karirnya di masa depan.
2. Dalam memilih jurusan siswa tidak memilih jurusan sesuai dengan bakat yang dimilikinya, tetapi hanya berdasarkan minat dan ketertarikannya pada suatu hal objek/profesi suatu pekerjaan (misalnya polisi atau perawat). Hal ini disebabkan karena siswa belum mengetahui potensi dan bakat yang dimilikinya. Jadi siswa masih mengandalkan minatnya saja, tanpa menghiraukan bakat yang dimilikinya.
3. Pemilihan jurusan diwarnai dengan adanya pengaruh dari orang lain (orang tua, teman). Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sejalan dengan perkembangannya banyak siswa yang memilih suatu jurusan tertentu atas dasar perintah (paksaan) dari orang tua mereka. Namun tidak sedikit pula siswa yang memilih jurusannya atas dasar ikut-ikutan pilihan temannya. Hal ini menyebabkan pilihan siswa terhadap jurusan yang dipi;ihnya tidak murni dari hati nurani, melainkan ada factor-faktor lain yang mempengaruhinya.
Berdasarkan paparan di atas, maka kita selaku calon konselor perlu memahami berbagai hal terkait dengan layanan dan permasalahan yang ada dalam bimbingan di bidang karir, agar nantinya ketika dilapangan, kita bisa lebih mudah dalam menangani permasalahan yang dialami konseli terkait dengan karirnya. Berdasarkan uraian di atas, penulis akan membahas berbagai hal yang berhubungan dengan karir siswa khususnya Program Studi Penjurusan bagi siswa Kelas X.
Pemilihan jurusan bagi siswa SMA/Ma sederajat merupakan awal dari pemilihan karir ke depannya. Hal ini dikarenakan jurusan di SMA/Ma sederajat akan mengantarkan kita pada penjurusan studi lanjut sebelum akhirnya kita menentukan, memilih pekerjaan atau karir ke depannya.
Penjurusan diperkenalkan sebagai upaya untuk lebih mengarahkan siswa berdasarkan minat dan kemampuan akademiknya. Siswa-siswa yang mempunyai kemampuan sains dan ilmu eksakta yang baik, biasanya akan memilih jurusan IPA, dan yang memiliki minat pada sosial dan ekonomi akan memilih jurusan IPS, lalu yang gemar berbahasa akan memilih Bahasa.
Pengarahan sejak dini ini dimaksudkan untuk memudahkan siswa memilih major/bidang ilmu yang akan ditekuninya di Universitas atau akademi yang tentunya akan mengarah pula kepada karirnya kelak. Tetapi penjurusan di tingkat SMA tidak selalu menjamin bahwa seorang siswa akan memilih bidang studi yang sama di Universitas, karena pada kenyataannya banyak siswa program IPA yang memilih jurusan Ekonomi, Politik, Hubungan Internasional, atau siswa jurusan IPS yang memilih program Bahasa.
Pemilihan jurusan yang berbeda dengan bidang ilmu yang ditekuni di SMA tersebut adalah wajar sebab anak seusia SMA memang belum bisa memastikan karirnya. Jangankan anak SMA, mahasiswa PT pun masih mengalami kebimbangan menentukan karirnya setelah lulus.
Penjurusan yang ada di SMA saat ini adalah penjurusan yang mengarah kepada satu tujuan yaitu melanjutkan ke PT. Penjurusan seperti ini memiliki keterbatasan dalam mengantisipasi kondisi siswa-siswa yang karena alasan tertentu tidak dapat melanjutkan ke PT, dan memilih (terpaksa memilih) untuk langsung bekerja. Dengan kemampuan yang dipersiapkan untuk melanjutkan ke PT, maka wajar jika banyak siswa SMA juga mengalami kesulitan ketika bekerja di masyarakat. Bahkan pekerjaan yang dilakukan barangkali serabutan,dengan prinsip yang penting bekerja.
Rendahnya angka melanjutkan ke PT dapat disebabkan oleh banyak hal, di antaranya : masalah ekonomi, ketidakmampuan akademik, gagal dalam UN, gagal dalam ujian masuk PT, dll. Melihat kenyataan rendahnya angka partisipasi tersebut, maka pendidikan di level SMA (pendidikan menengah umum) sebaiknya diarahkan untuk mempersiapkan siswa agar lebih memiliki kemampuan untuk bekerja atau membuka usaha mandiri. Tentu saja, selain pemikiran ini, dapat juga dikembangkan argumen untuk mempermudah proses ujian masuk PT atau menekan biaya kuliah/masuk PT.
B. Landasan Teori
Teori Perkembangan Karir Ginzberg
1. Pokok Teori Ginzberg
Teori Ginzberg dikembangkan pada tahun 1951 berdasarkan hasil studi melalui pengamatan dan wawancara dengan sampel yang terdiri dari laki-laki dari keluarga yang pendapatannya diatas rata-rata. Ini dilihat dari pendidikan ayah sebagai tenaga professional dan ibunya yang berpendidikan tinggi. Jadi sampelnya terbatas mencakup sub kelompok tertentu dari seluruh populasi dan memiliki latar belakang sehingga memiliki peluang untuk memilih mereka lebih luas. Teori Gizberg tidak menjelaskan pilihan karir dari keseluruhan populasi.Dalam hal ini mereka yang berasal dari kalangan yang penghasilanya rendah karena anak-anaknya telah mulai bekerja pada umur 18 tahun bahkan mungkin lebih awal karena tekanan keadaan.Yang menjadi dasar bagi Ginzberg dalam membangun teorinya adalah pendekatan psikologis atas tugas-tugas perkembangan yang dilalui oleh manusia dari masa ke masa. Konsep perkembangan dan pemilihan pekerjaan atau karier oleh Ginzberg dikelompokkan dalam empat unsur yaitu :
a. Proses (bahwa pilihan pekerjaan itu merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus-menerus).
b. Irreversibilitas (bahwa pilihan pekerjaan itu tidak bisa diubah atau dibalik. Adanya pembatasan pilihan pekerjaan itu bersifat menentukan. Jadi umur akan mempengaruhi karir seseorang dan kesediaan kesempatan bisa saja menyebabkan orang berubah dalam pilihan pekerjaannya).
c. Kompromi(bahwa pilihan pekerjaan itu merupakan kompromi antara faktor-faktor yang lain yaitu minat, kemampuan, dan nilai. Dalam unsure kompromi ini seseorang mulai mencari kesempurnaanya lagi melalui perkembangan sehingga muncullah konsep optimisme).
d. Optimisme (bahwa setiap orang mencari kecocokan paling baik antara minatnya yang terus mengalami perubahan, tuuan- tujuannya, dan keadaan yang terus berubah).
2. Proses Pemilihan Karir Ginzberg
Proses pemilihan pekerjaan oleh Ginzberg diklasifikasikan dalam tiga tahapan utama yaitu :
- Masa Fantasi masa ini berlangsung pada individu dengan tahap usia sampai kira-kira 10 tahun atau 12 tahun (masa sekolah dasar). Pada masa ini, proses pemilihan pekerjaan masih bersifat sembarangan atau asal pilih, tanpa didasarkan pada pertimbangan yang masak (rasional dan objektif) mengenai kenyataan yang ada. Pilihan pekerjaan pada masa ini hanya didasari atas kesan yang dapat melahirkan kesenangan semata, dan diperolehnya dari/mengenai orang-orang yang bekerja atau lingkungan kerjanya.
- Masa Tentatif Masa ini berlangsung mencakup anak usia lebih kurang 11 tahun sampai 18 tahun atau pada masa anak bersekolah di SLTP dan SLTA. Pada masa ini, pilihan pekerjaan mengalami perkembangan. Masa ini oleh Ginzberg diklasifikasikan manjadi empat tahap, dimulai dari
- Tahap kapasitas (13-14 tahun), yakni masa dimana individu mulai melakukan pekerjaan/kegiatan didasarkan pada kemampuannya masing-masing. Orientasi pilihan pekerjaan juga pada masa ini berbentuk upaya mencocokkan kemampuan yang dimiliki dengan minat dan kesukaannya.
- Tahap nilai (15-16 tahun), yaitu tahap dimana minat dan kapasitas itu akan diinterpretasikan secara sederhana oleh individu yang mulai menyadari bahwa terdapat suatu kandungan nilai-nilai tertentu dari suatu jenis pekerjaan, baik kandungan nilai yang bersifat pribadi maupun serangkaian nilai yang bersifat kamasyarakatan. Kesadaran akan serangkaian kandungan nilai ini pula yang membuat individu dapat mendiferensiasikan nilai suatu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya.
- Tahap transisi (17-18 tahun), yakni keadaan dimana individu akan memadukan orientasi-orientasi pilihan yang dimiliki sebelumnya (minat, kapasitas, dan nilai) untuk dapat direalisasikan dalam kehidupannya. Tahap ini dikenal juga dengan tahap pengenalan secara gradual terhadap persyaratan kerja, pengenalan minat, kemampuan, imbalan kerja, nilai, dan perspektif waktu.Keputusan yang menjadi pilihan itu sudah merupakan bentuk tanggung jawab dan konsekuensi pola karier yang dipilih.
- Masa Realistik Masa ini mencakup anak usia 18-24 tahun atau pada masa perkuliahan atau mulai bekerja. Pada masa ini, okupasi terhadap pekerjaan telah mengalami perkembangan yang lebih realistis. Orientasi minat, kapasitas, dan nilai yang dimiliki individu terhadap pekerjaan akan direfleksikan dan diintegrasikan secara runtut dan terstruktur dalam frame vokasional (kristalisasi pola-pola okupasi) untuk memilih jenis pekerjaan dan atau memilih perguruan tinggi yang sesuai dengan arah tentatif mereka (spesifikasi). Masa ini pun dibedakan menjadi tiga tahap yaitu :
- Tahap kristalisasi, yakni tahap dimana penilaian yang dilakukan individu terhadap pengalaman atau kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan baik yang berhasil ataupun yang gagal akan mengental dalam bentuk pola-pola vokasional yang jelas. Pada tahap ini, individu akan mengambil keputusan pokok dengan mengawinkan faktor-faktor internal dan eksternal dirinya untuk sampai pada spesifikasi pekerjaan tertentu, termasuk tekanan keadaan yang ikut memaksa pengambilan keputusan itu.
- Tahap spesifikasi, yaitu tahap pilihan pekerjaan yang spesifik atau khusus. Pada tahap ini, semua segmen dalam orientasi karier yang dimulai dari orientasi minat, kapasitas, dan nilai, sampai tahap eksplorasi dan kristalisasi telah dijadikan pertimbangan (kompromi) yang matang (determinasi tugas-tugas perkembangan yang optimal) dalam memilih arah dan tujuan karier dimasa yang akan datang.
Dari berbagai tahapan yang diklasifikasikan Ginzberg di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pemilihan pekerjaan yang terjadi pada individu merupakan suatu pola pilihan karier yang bertahap dan runtut, yang dinilai subjektif oleh individu dalam milieu sosiokulturalnya sejak masa kanak-kanak hingga awal masa dewasanya. Artinya, pada saat keputusan vokasional tentatif dibuat, pilihan-pilihan yang lain akan dicoret. Sehingga individu yang berhasil dalam karier/pekerjaan (memiliki kepuasan kerja) adalah individu yang mampu mengidentifikasi, mengarah, dan mengakomodir semua orientasi minat, kapasitas, dan nilai kedalam proses kompilasi yang tepat dan dinamis.
Di beberapa bagiannya, teori ini masih dianggap kurang sempurna, mengingat sampel yang dipilih Ginzberg dalam membangun teorinya ini kurang representatif, yakni hanya diwakili oleh sampel laki-laki dari keluarga yang berpenghasilan diatas rerata (ayahnya adalah tenaga profesional dan ibunya berpendidikan tinggi). Sehingga peluang sampel dalam memilih pilihan karier cenderung lebih luas, dan cenderung tidak mengalami hambatan dalam proses okupasionalnya. Sementara kemungkinan adanya kalangan sampel yang berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah dan mengalami tekanan keadaan tertentu, termasuk juga sampel perempuan yang hampir tidak ada dalam studinya dalam kerangka teori ini kurang mendapat perhatian.
Konsep irreversibilitas (pilihan pekerjaan itu tidak bisa diubah atau dibalik) juga mengalami modivikasi dengan tetap menekankan pada pentingnya pilihan itu dilakukan secara dini dalam membantu proses pembuatan karier. Untuk hal ini, Ginzberg menyatakan bahwa irreversibilitas itu tidak bersifat menentukan keberhasilan kerier, dan menekankan konsep optimisasi (pencarian kecocokan) sebagai bagian okupasional dalam mencapai kepuasan kerja. Karena bagi kelompok Ginzberg, reversibilitas disebut sebagai penyimpangan, yang disebabkan oleh keterampilan okupasional dini dan timing perkembangan realistik secara signifikan lebih lambat datangnya, akibat variabel-variabel tertentu seperti instabilitas emosi, masalah pribadi, dan kekayaan finansial.
Sehingga diakhir pendapatnya, Ginzberg juga menyimpulkan bahwa pengambilan keputusan dalam pilihan karier itu berlangsung sepanjang hayat, sebagai refleksi dari perubahan minat dan tujuan-tujuan, serta keadaan atau tekanan yang berlangsung dalam kehidupan seseorang. Konsep ini juga saya anggap sebagai reaksi edukatif Ginzberg atas kelemaham awal tentang batasan umur masa realistis dari teori yang dibangunnya.
Sehingga diakhir pendapatnya, Ginzberg (Munandir, 1996:2) menyatakan bahwa “pemilihan pekerjaan merupakan proses pengambilan keputusan yang berlangsung seumur hidup bagi mereka yang mencari kepuasan dari pekerjaannya.Keadaan ini mengharuskan mereka berulang-ulang melakukan penilaian kembali, dengan maksud mereka dapat lebih mencocokkan tujuan-tujuan karier yang terus berubah-ubah dengan kenyataan dunia kerja”.
Konseptualisasi teori ini agaknya lebih bersifat deskriptif daripada eksplanatori. Artinya teori ini tidak memberikan strategi untuk memfasilitasi perkembangan karier ataupun penjelasan tentang proses perkembangannya. Kegunaan utama teori ini tampaknya hanya dalam memberikan satu kerangka baru untuk melakukan studi mengenai perkembangan karier.
Permasalahan yang Dihadapi dalam Memilih Jurusan
Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kian berkembang pesat. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut membuat manusia harus mampu bersaing dalam peningkatan kualitas hidupnya di segala aspek dan bidangnya. Salah satu persaingan manusia demi peningkatan kualitas hidupnya adalah persaingan dalam dunia karirnya. Manusia harus mampu menentukan karirnya sendiri untuk kehidupan kedepannya, maka dari itu manusia diharapkan mampu merancang karirnya sejak dini. Dengan adanya perancanagan karir sejak dini, nantinya diharapkan akan memudahkan manusia itu sendiri dalam meniti dan mewujudkan setiap karirnya ke depan.
Pentingnya perencanaan karir sejak dini menuntut sekolah-sekolah menengah atas dan sederajat di Indonesia harus turut serta menekankan pembinaan karir dalam kurikulum tingkat satuan pendidikannya. Mengingat pentingnya pembinaan karir sejak dini tersebut maka sekolah pun mengadakan program bimbingan karir sejak dini di sekolah. Hal ini terbukti dari adanya Program Pemilihan Jurusan di kalangan SMK/SMA/Ma sederajat. Jurusan yang ditawarkan yaitu Program Studi Ilmu Alam (PSIA), Program Studi Ilmu Sosial (PSIS), Program Studi Ilmu Bahasa (PSIB). Dengan adanya Program Pemilihan Jurusan ini maka para siswa diharapkan mampu menentukan dan merencanakan pilihan studi lanjut dan/atau karirnya lebih awal.
Namun seiring berjalannya waktu, sekarang ini sering dijumpai kasus terkait tentang permasalahan dan kendala-kendala yang dialami siswa dalam menentukan jurusan yang tepat bagi diinya sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Beberapa permasalahan yang hingga sekarang ini sering ditemui itu diantaranya yaitu:
1. Siswa bingung dan belum tahu harus memilih jurusan apa yang tepat bagi dirinya. Hal ini dikarenakan siswa belum memiliki kebulatan tekad dalam menentukan karirnya di masa depan.
2. Dalam memilih jurusan siswa tidak memilih jurusan sesuai dengan bakat yang dimilikinya, tetapi hanya berdasarkan minat dan ketertarikannya pada suatu hal objek/profesi suatu pekerjaan (misalnya polisi atau perawat). Hal ini disebabkan karena siswa belum mengetahui potensi dan bakat yang dimilikinya. Jadi siswa masih mengandalkan minatnya saja, tanpa menghiraukan bakat yang dimilikinya.
3. Pemilihan jurusan diwarnai dengan adanya pengaruh dari orang lain (orang tua, teman). Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sejalan dengan perkembangannya banyak siswa yang memilih suatu jurusan tertentu atas dasar perintah (paksaan) dari orang tua mereka. Namun tidak sedikit pula siswa yang memilih jurusannya atas dasar ikut-ikutan pilihan temannya. Hal ini menyebabkan pilihan siswa terhadap jurusan yang dipi;ihnya tidak murni dari hati nurani, melainkan ada factor-faktor lain yang mempengaruhinya.
Berdasarkan paparan di atas, maka kita selaku calon konselor perlu memahami berbagai hal terkait dengan layanan dan permasalahan yang ada dalam bimbingan di bidang karir, agar nantinya ketika dilapangan, kita bisa lebih mudah dalam menangani permasalahan yang dialami konseli terkait dengan karirnya. Berdasarkan uraian di atas, penulis akan membahas berbagai hal yang berhubungan dengan karir siswa khususnya Program Studi Penjurusan bagi siswa Kelas X.